Citro Sridono Sasmito alias Subiantoro, namanya. Pemilik Paseban Agung Sonyoruri, ini kini telah berusia 109 tahun. Dengan usia setua itu warga Papringan, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur ini setiap harinya menghabiskan 148 batang rokok kretek setiap harinya.
Kebiasaan menghabiskan ratusan batang rokok ini sudah di mulai bapak dua anak dan kakek tiga cucu ini sejak puluhan tahun lalu.
Saat Tempo mengunjungi rumahnya di Desa Papringan, ruang tidur di dalam padepokan Mbah Citro --begitu ia biasa dipanggil masyarakat setempat--ini, tergelatak belasan pak rokok kretek yang masing-masing berisi 16 batang. "Setiap hari saya habis 8 pak rokok," kata spiritualis ini kepada wartawan, Selasa, 31 Mei 2011, sore.
Duduk di lantai bersama Hari Aji, 65 tahun, orang dekatnya dan juga seorang perupa Surabaya ini, Mbah Citro cukup bersemangat saat diajak ngobrol masalah hari lahir Pancasila.
Meski usianya sudah 109 tahun, namun tubuhnya masih terlihat bugar dan enerjik. "Dia cukup senang disebut si raja rokok," Hari Aji.
Sehari-harinya, Hari menambahkan, Mbah Citro ini sebenarnya kurang begitu menyukai nasi. "Dia lebih suka makan umbi-umbian," katanya.
Di usianya yang sudah senja ini, kata Hari, Mbah Citro juga masih sering bepergian. "Kalau sudah punya uang, dia pasti pergi kemana dia suka. Tiba-tiba telepon saya kalau sudah berada di Jawa Tengah atau dimana," kata Hari.
Mbah Citro, lahir di Magetan, 21 Agustus 1902. Bapaknya bernama, Surya Adi Wijaya, seorang guru politik pada zaman penjajahan Belanda dulu. Mbah Citro ini mengaku kenal dengan Bung Karno. "Saya biasa memanggilnya Kusno. Dan dia manggil saja Bianto," kata Mbah Citro.
Ia mengaku kenal pertama kali dengan Soekarno saat berumur 1921 tahun. "Saya dikenalkan bapak saya," kata Mbah Citro.
Kebiasaan menghabiskan ratusan batang rokok ini sudah di mulai bapak dua anak dan kakek tiga cucu ini sejak puluhan tahun lalu.
Saat Tempo mengunjungi rumahnya di Desa Papringan, ruang tidur di dalam padepokan Mbah Citro --begitu ia biasa dipanggil masyarakat setempat--ini, tergelatak belasan pak rokok kretek yang masing-masing berisi 16 batang. "Setiap hari saya habis 8 pak rokok," kata spiritualis ini kepada wartawan, Selasa, 31 Mei 2011, sore.
Duduk di lantai bersama Hari Aji, 65 tahun, orang dekatnya dan juga seorang perupa Surabaya ini, Mbah Citro cukup bersemangat saat diajak ngobrol masalah hari lahir Pancasila.
Meski usianya sudah 109 tahun, namun tubuhnya masih terlihat bugar dan enerjik. "Dia cukup senang disebut si raja rokok," Hari Aji.
Sehari-harinya, Hari menambahkan, Mbah Citro ini sebenarnya kurang begitu menyukai nasi. "Dia lebih suka makan umbi-umbian," katanya.
Di usianya yang sudah senja ini, kata Hari, Mbah Citro juga masih sering bepergian. "Kalau sudah punya uang, dia pasti pergi kemana dia suka. Tiba-tiba telepon saya kalau sudah berada di Jawa Tengah atau dimana," kata Hari.
Mbah Citro, lahir di Magetan, 21 Agustus 1902. Bapaknya bernama, Surya Adi Wijaya, seorang guru politik pada zaman penjajahan Belanda dulu. Mbah Citro ini mengaku kenal dengan Bung Karno. "Saya biasa memanggilnya Kusno. Dan dia manggil saja Bianto," kata Mbah Citro.
Ia mengaku kenal pertama kali dengan Soekarno saat berumur 1921 tahun. "Saya dikenalkan bapak saya," kata Mbah Citro.
0 comments:
Post a Comment