Apr 29, 2011

Prediksi Total Manusia Berjumlah 7 Miliar Jiwa Pada Tahun 2011 Akhir,

Proyeksi kependudukan secara global , makalah proyeksi kependudukan secara global, tahun 2011 adalah abad ke, TOTAL PENDUDUK DUNIA TAHUN 2011, jumlah manusia di dunia 2011, jumlah penduduk dunia 2011, proyeksi kependudukan global, dampak negatif pertambahan populasi manusia yang sangat pesat(ledakan penduduk), proyeksi kependudukan secara global dan nasional, total collapse dalam penduduk 


    Pada 2045, penduduk Bumi diperkirakan mencapai sembilan miliar jiwa. Sanggupkah Bumi menyangga beban seberat itu?

Oleh ROBERT KUNZIG
Foto oleh RANDY OLSON
Pada suatu hari musim gugur 1677 di Delft, Belanda, Antoni van Leeuwenhoek, saudagar kain yang konon berperan sebagai model berambut panjang bagi dua lukisan karya Johannes Vermeer—lukisan “Ahli Astronomi” dan “Ahli Geografi”—mendadak berhenti mencumbui istrinya dan tergesa menuju meja kerjanya. Kain memang bidang usaha Leeuwenhoek, tetapi mikroskopi adalah minatnya.

Prediksi Total Manusia Berjumlah 7 Miliar Jiwa Pada Tahun 2011 Akhir,

Dia sudah punya lima anak dari istri pertamanya (meskipun yang empat orang meninggal saat masih bayi), dan bukan soal menjadi ayah yang memenuhi pikirannya. “Sebelum enam kali denyutan,” (begitu yang dia tulis kemudian kepada Royal Society of London) Leeuwenhoek memeriksa sampel air maninya sendiri—zat yang mudah rusak itu—melalui kaca pembesar yang kecil ukurannya. Lensanya, yang tidak lebih besar daripada setetes kecil air hujan, dapat memperbesar benda sampai ratusan kali. Kaca pembesar itu juga dia buat sendiri dan saat itu tak seorang pun yang memiliki lensa sekuat lensa miliknya.

Pada masa itu, para cendekiawan di London masih berusaha meneliti keabsahan klaim Leeuwenhoek sebelumnya yang menyatakan bahwa jutaan “animalkul” (animalcules, istilah Leewenhoek bagi mikroorganisma) yang tidak kasat mata hidup dalam setetes air danau dan bahkan dalam setetes anggur Prancis. Di hari itulah Leewenhoek memiliki satu hal lain yang lebih rumit untuk dilaporkan. Yaitu, air mani manusia juga mengandung animalkul. “Kadang lebih dari seribu dalam sejumput materi yang ukurannya sebesar satu butir pasir,” tulis Leewenhoek.

Sambil menempelkan kaca pembesar ke matanya seperti seorang pandai perhiasan, Leeuwenhoek melihat animalkul miliknya berenang-renang sambil mengibas-ngibaskan ekornya yang panjang. Bayangkan cahaya matahari menerobos melalui kerai kaca jendela, berlabuh di wajah yang tercenung, seperti pada lukisan Vermeers. Sungguh kasihan sang istri.

Setelah itu, Leeuwenhoek menjadi agak terobsesi. Lubang intipnya yang sangat kecil itu memberi Leewenhoek hak istimewa dalam mengakses dunia mikroskopik yang belum pernah dilihat orang lain dan dia menghabiskan banyak sekali waktu mengamati spermatozoa, itulah nama yang kita gunakan sekarang. Namun yang sungguh terasa ganjil, justru cairan mani yang dia peras dari seekor ikan cod-lah yang kemudian mengilhaminya untuk menaksir, hampir secara sambil lalu, berapa banyak manusia bisa menghuni Bumi.

Tidak seorang pun paham apa yang Leewenhoek maksudkan, antara lain karena belum banyak sensus dilakukan pada waktu itu. Leeuwenhoek memulainya dengan taksiran bahwa sekitar satu juta orang tinggal di Belanda. Dengan menggunakan peta dan sedikit ilmu geometri bidang lengkung, dia menghitung bahwa kawasan daratan yang berpenghumi di Bumi luasnya 13.385 kali luas Belanda. Waktu itu sungguh sulit membayangkan Bumi yang seluruhnya sepadat negeri Belanda, yang bahkan di masa itu pun sepertinya sudah sangat padat.

Jadi, Leeuwenhoek menyimpulkan dengan penuh rasa kemenangan, Bumi tidak mungkin dihuni lebih dari 13.385 miliar orang—jumlah yang kecil jika dibandingkan dengan 150 miliar sel sperma yang menghuni seekor ikan cod! Hasil perhitungan yang riang gembira tersebut, begitu tulis ahli biologi populasi Joel Cohen dalam bukunya How Many People Can the Earth Support?, mungkin merupakan upaya pertama yang memberikan jawaban kuantitatif terhadap pertanyaan yang kini kian mengecilkan hati jika dibandingkan pada masa abad ke-17. Pasalnya, kebanyakan jawaban di masa sekarang ini sama sekali tidak menggembirakan.

Kini para ahli sejarah memperkirakan bahwa di masa Leeuwenhoek hanya ada sekitar setengah miliar manusia di Bumi. Saat itu, jumlah manusia baru saja melesat setelah peningkatan yang sangat lambat selama ribuan tahun. Satu setengah abad kemudian, ketika penemuan sel telur manusia dilaporkan, penduduk dunia telah bertambah lebih dari dua kali lipat menjadi lebih dari satu miliar jiwa. Satu abad setelah itu, sekitar 1930, jumlah manusia kembali berlipat dua menjadi dua miliar. Akselerasi pertambahan sejak itu sungguh mencengangkan. Sebelum abad ke-20, belum pernah ada manusia yang di masa hidupnya menyaksikan penduduk Bumi bertambah dua kali lipat, padahal banyak orang yang hidup sekarang menyaksikan jumlah manusia bertambah sampai tiga kali lipat. Kelak di akhir 2011, menurut Divisi Populasi PBB, akan ada tujuh miliar manusia.

Ledakan penduduk itu sama sekali belum usai, meski kini tengah melambat. Penyebabnya bukan saja karena manusia hidup lebih lama, tetapi karena banyak sekali perempuan di seluruh dunia yang sekarang ini berada dalam usia subur—1,8 miliar—sehingga penduduk dunia bakal terus tumbuh setidaknya selama beberapa dasawarsa mendatang. Hal itu akan berlangsung meski setiap perempuan memiliki lebih sedikit anak dibandingkan dengan satu generasi yang lalu. Pada 2050 jumlah total manusia bisa mencapai 10,5 miliar atau mungkin juga berhenti di angka delapan miliar—perbedaannya ada pada satu anak per seorang perempuan. Para ahli demografi PBB menganggap angka di tengah-tengah merupakan perkiraan terbaik: mereka sekarang memperkirakan penduduk Bumi dapat mencapai sembilan miliar sebelum 2050—pada 2045. Angka akhir akan bergantung pada pilihan masing-masing pasangan ketika mereka melakukan kegiatan antarmanusia yang paling intim itu, kegiatan yang secara serampangan dihentikan Leeuwenhoek demi ilmu pengetahuan.

Dengan penduduk yang masih terus bertambah sekitar 80 juta jiwa per tahun, sulit rasanya untuk tidak merasa prihatin. Saat ini di Bumi, air tanah harus dicari semakin dalam, tanah terus terkikis, gletser terus meleleh, dan jumlah ikan kian menyusut. Hampir satu miliar orang kelaparan setiap hari. Beberapa puluh tahun dari sekarang, mungkin akan ada dua miliar manusia yang butuh makan, kebanyakan di negara miskin. Akan makin banyak orang, dalam jumlah miliaran, yang ingin dan layak mengentaskan diri dari kemiskinan. Jika mereka mengikuti jalan yang dirintis oleh negara kaya—membuka hutan, membakar batubara dan minyak, dengan bebas menebarkan pupuk dan pestisida—mereka pun akan memanfaatkan habis-habisan sumber daya alam planet ini. Bagaimanakah caranya untuk mendapatkan makanan?

Mungkin agak melegakan hati saat mengetahui bahwa sesungguhnya sudah lama orang mengkhawatirkan masalah populasi. Beberapa di antara tulisan awal tentang demografi ditulis oleh Sir William Petty, pendiri Royal Society, hanya beberapa tahun setelah penemuan Leeuwenhoek. Dia memperkirakan, penduduk dunia akan tumbuh 12 kali lipat menjelang hari kiamat yang diperkirakan sekitar 2000 tahun lagi. Pada sat itu jumlah manusia akan lebih dari 20 miliar—lebih dari yang bisa diberi makan oleh Bumi. “Dan, menurut ramalan Alkitab, pasti ada peperangan, pembantaian besar-besaran, dan sebagainya,” begitu tulis Petty. Memang sejak awal, begitu dikatakan ahli demografi asal Prancis Hervé Le Bras, demografi terperosok dalam diskusi perihal “hari akhir”.

Di saat ramalan agama tentang akhir dunia mulai mereda, Le Bras menyatakan, persoalan pertumbuhan penduduk saja sudah memunculkan mekanisme semu tentang kiamat. “Hal tersebut mengkristalkan ketakutan purba dan mungkin harapan purba tentang hari akhir,” tulis Le Bras. Pada 1798, pendeta Inggris yang juga ahli ekonomi Thomas Malthus mengemukakan hukum populasinya: populasi memang perlu tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan pasokan pangan, sampai perang, penyakit, dan wabah kelaparan tiba untuk mengurangi jumlah manusia. Kenyataannya, wabah cukup besar yang menurunkan populasi manusia secara signifikan sudah pernah terjadi saat Malthus menuliskan pendapatnya. Sejak peristiwa Kematian Hitam di abad ke-14 itu, penduduk dunia belumlah lagi berkurang, begitu menurut para ahli sejarah.

Dalam kurun dua abad setelah Malthus mengumumkan bahwa populasi tidak mungkin terus tumbuh pesat, justru yang sebaliknyalah yang terjadi. Prosesnya dimulai di kawasan yang sekarang kita sebut sebagai negara maju, yang saat itu tengah berkembang. Penyebaran hasil bumi dari benua Amerika seperti jagung dan kentang, sejalan dengan ditemukannya pupuk kimia, membantu mengakhiri wabah kelaparan di Eropa. Kota-kota yang terus berkembang pada mulanya masih tetap merupakan kawasan kumuh penyebar penyakit, tetapi sejak pertengahan abad ke-19, saluran pembuangan mulai mengalirkan limbah manusia menjauhi sumber air minum yang kemudian disaring dan diklorinasi; hal itu secara dramatis mengurangi penyebaran kolera dan tifus.

Selanjutnya, pada 1798, tahun yang sama saat Malthus menerbitkan tulisannya yang membuat pesimistis, rekan senegaranya Edward Jenner memperkenalkan vaksin untuk cacar air—yang pertama dan yang terpenting dalam serangkaian vaksin dan antibiotika yang, di samping nutrisi dan sanitasi yang lebih baik, menggandakan harapan hidup di Negara-negara maju, dari 35 tahun menjadi 77 tahun saat ini. Hanya orang berpandangan pesimis sajalah yang melihat kecenderungan itu sebagai sesuatu yang suram: “Perkembangan ilmu kedokteran ibarat akhir dari rangkaian peristiwa dan menjadi awal munculnya malapetaka,” tulis Paul Ehrlich, ahli biologi dari Stanford, pada 1968.

Buku Ehrlich, The Population Bomb, membuatnya menjadi pendukung Malthus modern yang paling terkenal. Pada 1970-an, Ehrlich meramalkan, “ratusan juta orang akan mati kelaparan,” dan sudah terlambat untuk menanggulanginya. “Kanker pertumbuhan penduduk … harus dibuang,” tulis Ehrlich, “dengan cara paksa jika secara sukarela tidak berhasil.” Masa depan Amerika Serikat benar-benar menghadapi risiko. Meski buku itu ditulis dengan gaya bahasa yang seperti itu—atau mungkin justru karena gaya bahasanya yang seperti itu—buku tersebut menjadi laris, sebagaimana juga buku Malthus dahulu. Kali ini pun bom tersebut tidak meledak. Revolusi hijau—kombinasi antara benih tanaman unggul, irigasi, pestisida, dan pupuk yang berhasil melipatgandakan hasil panen biji-bijian—sudah digunakan. Dewasa ini memang banyak orang menderita malagizi, tetapi wabah kelaparan besar-besaran jarang terjadi.

Hanya saja, Ehrlich juga benar ketika menyatakan bahwa populasi akan membengkak di saat ilmu kedokteran berhasil menyelamatkan hidup banyak orang. Setelah Perang Dunia II, Negara berkembang mendadak menerima banjir bantuan kesehatan, atas bantuan sejumlah lembaga seperti WHO dan UNICEF. Penisilin, vaksin cacar, DDT (yang, meski kemudian menjadi kontroversial, berhasil menyelamatkan jutaan jiwa dari kematian akibat malaria)—semuanya tiba serentak pada waktu yang bersamaan.

Di India, harapan hidup meningkat dari 38 tahun pada 1952 menjadi 64 saat ini; di Cina, dari 41 menjadi 73. Jutaan orang di negara berkembang yang semula cenderung meninggal saat masih anak-anak sekarang bisa bertahan hidup sampai mereka bisa melahirkan anak sendiri. Itulah sebabnya mengapa ledakan penduduk menyebar ke seluruh Bumi: karena banyak sekali orang selamat dari kematian. Juga karena pada kurun waktu tertentu kaum perempuan melahirkan banyak sekali anak. Di Eropa pada abad ke-18 atau di Asia pada awal abad ke-20, ketika perempuan rata-rata punya enam orang anak, itu dilakukan sebagai pengganti dirinya dan pasangannya. Sebab, kebanyakan dari anak-anak itu tidaklah pernah mencapai usia dewasa.

Ketika angka kematian anak menurun, pasangan suami-istri pun memiliki lebih sedikit anak—tetapi umumnya, transisi ini paling tidak memakan waktu satu generasi. Dewasa ini di negara maju, angka kelahiran rata-rata 2,1 anak per seorang perempuan dapat membuat populasi ajeg; di dunia berkembang, angka tersebut agak sedikit lebih besar. Hanya saja dalam kurun waktu yang dibutuhkan agar angka kelahiran mencapai keseimbangan dengan angka kematian, jumlah penduduk bakal telah meningkat dengan pesat.

Para ahli demografi menamakan evolusi tersebut dengan transisi demografi. Semua negara mengalami hal itu pada waktunya masing-masing. Ini merupakan ciri khas proses kemajuan umat manusia: di negara yang sudah menyelesaikan transisinya, warganya berhasil mengambil-alih dari alam sekurang-kurangnya kendali atas kematian dan kelahiran. Ledakan penduduk dunia adalah efek samping yang tak terelakkan, efek samping yang begitu besar yang menyebabkan sebagian orang merasa tidak yakin bahwa peradaban kita akan mampu bertahan. Namun, laju pertumbuhan sudah mencapai puncaknya seperti yang diperingatkan Ehrlich. Pada awal 1970-an, angka kesuburan di seluruh dunia mulai menurun lebih cepat daripada yang diperkirakan orang sebelumnya. Sejak itu, laju pertumbuhan penduduk pun menurun lebih dari 40 persen.

Menurunnya angka kelahiran yang sekarang melanda dunia dimulai pada waktu yang berbeda di tiap negara. Prancis adalah salah satu negara yang paling awal mengalaminya. Pada awal abad ke-18, kaum perempuan ningrat Prancis tetap menikmati hubungan seksual tanpa berdampak pada mengandung lebih dari dua anak. Mereka sering mengandalkan metode sama yang digunakan Leeuwenhoek untuk penelitiannya: sanggama terputus. Arsip gereja di pedesaan menunjukkan bahwa kecenderungan ini merebak hingga ke penduduk desa pada akhir abad ke-18; pada akhir abad ke-19, angka kelahiran di Prancis menurun menjadi tiga anak per seorang perempuan—tanpa bantuan alat kontrasepsi modern. Inovasi utamanya bersifat konseptual, bukan kontraseptif, kata Gilles Pison dari Lembaga Nasional untuk Kajian Kependudukan di Paris. Sebelum abad Pencerahan, “jumlah anak yang kaumiliki adalah takdir Tuhan. Orang belum mengerti bahwa jumlah anak bisa mereka tentukan.”

Negara Barat lainnya pada akhirnya meneladani Prancis. Pada awal Perang Dunia II, angka kelahiran menurun sampai mendekati angka kematian di sebagian Eropa dan AS. Kemudian, setelah terjadinya lonjakan angka kelahiran sesaat yang mencengangkan yang dikenal sebagai baby boom di AS, terjadi penurunan tajam yang lagi-lagi mengejutkan para ahli demografi. Mereka berasumsi bahwa ada naluri yang menyebabkan kaum perempuan tetap melahirkan jumlah anak yang cukup untuk memastikan penyintasan spesies manusia. Alih-alih, di negara maju angka kelahiran menurun sampai di bawah angka kematian. Pada akhir 1990-an di Eropa, angka tersebut turun sampai di bawah 1,4. “Bukti yang saya pahami benar, yang sifatnya jenaka, adalah bahwa kaum perempuan sama sekali tidak peduli perihal penyintasan spesies,” kata Joel Cohen.

Akhir suatu periode ledakan penduduk atau baby boom dapat memberikan dua dampak besar dalam bidang ekonomi suatu negara. Yang pertama adalah “keuntungan demografi”—beberapa dasawarsa yang indah ketika penduduk yang dilahirkan saat masa ledakan tersebut memperbesar angkatan kerja dan jumlah orang muda, sementara orang tua yang tidak bekerja relatif sedikit sehingga terdapat banyak dana untuk memenuhi keperluan lain. Kemudian, dampak kedua menyentak: Penduduk yang dilahirkan di periode ledakan tersebut mulai memasuki masa pensiun. Hal yang semula dipandang sebagai tatanan demografi yang mapan ternyata harus berakhir. Perdebatan sengit di Amerika tentang Jaminan Sosial serta pemogokan tahun lalu di Prancis tentang peningkatan usia pensiun merupakan reaksi terhadap masalah yang ada di seluruh kawasan negara maju: bagaimana mendukung populasi yang beranjak tua. “Pada 2050, apakah terdapat cukup banyak orang yang bekerja sehingga tersedia dana untuk membayar uang pensiun?” tanya Frans Willekens, direktur Institut Demografi Interdisipliner Belanda di Den Haag. “Jawabannya tidak.”

Negara maju perlu waktu beberapa generasi untuk menurunkan angka kelahiran hingga menyamai atau lebih rendah dari angka kematian. Saat transisi yang sama berlangsung di kawasan lainnya, para ahli demografi tercengang karena betapa jauh lebih cepatnya hal itu terjadi. Meski penduduknya terus tumbuh, China yang dihuni oleh seperlima penduduk dunia sudah berhasil menurunkan angka kelahiran sampai di bawah angka kematian dan hal itu sudah berlangsung selama hampir 20 tahun, antara lain berkat kebijakan paksa satu-anak yang diterapkan pada 1979; perempuan China yang rata-rata masih punya enam anak pada 1965, sekarang hanya punya 1,5. Di Iran, dengan dukungan penguasa Islam, angka kelahiran turun lebih dari 70 persen sejak awal 1980-an. Di Brasil yang demokratis dan penduduknya penganut Katolik, kaum perempuan berhasil menurunkan angka kesuburan menjadi tinggal separuhnya dalam tempo seperempat abad. “Kami masih belum memahami benar mengapa angka kelahiran menurun begitu cepat di begitu banyak masyarakat, di begitu banyak budaya dan agama. Ini benar-benar mencengangkan,” kata Hania Zlotnik, direktur Divisi Kependudukan PBB.

“Pada saat ini, meskipun saya ingin bisa mengatakan bahwa masih ada masalah tingginya angka kelahiran, hal itu hanya dialami oleh 16 persen penduduk dunia, kebanyakan di Afrika,” kata Zlotnik. Di Sahara Selatan, angka kelahiran memang masih tetap lima anak per seorang perempuan, sementara di Niger tujuh. Akan tetapi, 17 negara di wilayah itu masih memiliki harapan hidup 50 tahun atau kurang; mereka baru memulai transisi demografi. Namun, di kebanyakan bagian dunia yang lain, ukuran keluarga menyusut secara dramatis. PBB memperkirakan dunia akan mencapai keseimbangan angka kelahiran-kematian pada 2030. “Keseluruhan penduduk dunia sedang berada dalam jalur menunju kestabilan—dan ini berarti kabar baik,” ujar Zlotnik.

Kabar buruknya adalah bahwa 2030 hanya tinggal dua dasawarsa lagi dan bahwa pada saat itu generasi remaja—yang terbesar dalam sejarah—akan memasuki masa subur. Bahkan seandainya pun setiap perempuan di masa itu hanya punya dua anak, populasi bakal melesat menurut momentumnya sendiri yang akan berlangsung selama sekitar seperempat abad. Apakah bencana besar akan segera terjadi, atau apakah orang di masa itu akan bisa hidup secara manusiawi dengan cara yang tidak merusak lingkungan? Satu hal yang sudah pasti: hampir seperenam dari penduduk dunia pada masa itu tinggal di India.

Secara intelektual, saya sudah lama memahami soal ledakan penduduk. Secara emosional, saya memahaminyapada suatu malam yang panas di Delhi dua tahun silam … Suhu udara jauh di atas 100 [sekitar 40 derajat Celsius] dan udara dipenuhi debu dan asap. Jalanan tampak hidup oleh manusia yang lalu-lalang. Orang sedang makan, orang sedang mencuci, orang sedang tidur. Orang bertamu, berdebat, dan berteriak. Orang mengulurkan tangan melalui jendela taksi, mengemis. Orang buang air besar dan kecil. Orang bergelantungan di bus. Orang menggembalakan ternak. Orang, orang, orang, orang.—Paul Ehrlich

Pada 1966 itu, ketika Ehrlich tengah naik taksi, penduduk India berjumlah setengah miliar jiwa. Sekarang jumlahnya 1,2 miliar. Penduduk Delhi bahkan bertambah lebih cepat lagi, menjadi sekitar 22 juta karena gelombang pendatang membanjir dari kota kecil serta pedesaan, dan semuanya menjejali kawasan “kota gubug” yang terus membengkak itu. Awal Juni silam di kota panas yang berbau busuk tersebut, musim hujan belum tiba untuk membasuh debu dari daerah pembangunan yang tak terhitung banyaknya, yang hanya menambah banyak debu yang berhembus dari gurun Rajasthan. Di jalan-jalan raya baru yang terbagi dua, yang menggiring orang memasuki kota tak terencana itu, gerobak sapi berjalan ke arah yang salah di jalur cepat. Keluarga-keluarga yang terdiri atas empat orang meluncur di atas sepeda motor, selendang perempuan berkibar-kibar seperti bendera, anak balita bergelantungan di lengan ibunya. Keluarga yang terdiri atas belasan orang berdesakan seperti ikan sarden di dalam bemo berwarna kuning-hitam yang berisik, yang dirancang untuk dua penumpang. Di jalanan yang macet, pengemis berkaki satu dan anak kecil bertubuh kurus kering meratap-ratap meminta derma. Delhi masa kini tumbuh berbeda dengan kota yang pernah dikunjungi Ehrlich, namun juga boleh dikatakan tetap sama.

Di Rumah Sakit Lok Nayak, di tepi jalanan kecil kawasan yang semrawut dan padat manusia yakni Old Delhi, gelombang manusia mengalir memasuki gerbang setiap pagi dan kerumunan orang memenuhi lantai lobi. “Siapakah yang menyaksikan ini yang tidak mengkhawatirkan populasi India?” tanya dokter bedah Chandan Bortamuly di suatu siang sambil berjalan menuju klinik vasektomi. “Populasi adalah masalah kami yang terbesar.” Sambil melepaskan gembok dari pintu klinik, Bortamuly melangkah masuk ke kamar operasi yang kecil. Di dalamnya, dua lelaki berbaring terlentang di tempat tidur untuk diperiksa, buah zakar mereka menonjol di atas lubang pada kain berwarna hijau. Kipas angin di langit-langit mengembuskan udara sejuk dari dua unit AC di kamar.

Bortamuly berada di garis depan pertempuran yang sudah berlangsung di India selama hampir 60 tahun. Pada 1952, hanya lima tahun setelah meraih kemerdekaannya dari Inggris, India menjadi negara pertama yang menetapkan kebijakan pengendalian penduduk. Sejak itu, pemerintah India telah berkali-kali menetapkan sasaran yang ambisius—dan berulang kali pula gagal memenuhinya. Kebijakan nasional yang dianut pada 2000 menargetkan India mencapai angka kelahiran 2,1 pada 2010 dan ternyata target tersebut tidak akan tercapai setidaknya satu dasawarsa lagi. Dalam proyeksi moderat yang disampaikan PBB, penduduk India akan meningkat hingga lebih dari 1,6 miliar pada 2050. “Yang tak terelakkan adalah bahwa India akan melebihi China pada 2030,” kata AR Nanda, mantan kepala Yayasan Kependudukan India, sebuah kelompok penasihat. “Hanya malapetaka besar, bencana nuklir, dan sejenis itu sajalah yang dapat mengubahnya.”

Sterilisasi adalah bentuk pengendalian kelahiran yang dominan di India dewasa ini dan sebagian besar dilaksanakan terhadap kaum perempuan. Pemerintah sedang berusaha mengubah hal tersebut; vasektomi tanpa pisau bedah memerlukan biaya jauh lebih kecil dan lebih mudah dilakukan pada lelaki dibandingkan dengan pengikatan saluran Fallopia pada perempuan. Di kamar operasi, Bortamuly bekerja dengan cepat. “Tusukan jarum rasanya seperti gigitan semut,” dia menjelaskan ketika pasien pertama meringis saat disuntik obat anestetik lokal. “Setelah itu, boleh dikatakan tindakan pembedahan ini tidak terasa sakit dan tidak berdarah.” Dengan menggunakan ujung runcing alat tang, Bortamuly membuat lubang kecil di kulit skrotum, lalu menarik saluran vas deferens berupa tali putih berbentuk huruf U—saluran sperma dari buah zakar kanan si pasien. Dia mengikat kedua ujung tali berbentuk U itu dengan benang hitam halus, memotong kedua ujung itu, lalu memasukkannya kembali ke bawah kulit. Dalam waktu kurang dari tujuh menit—seorang perawat mencatat waktunya—pasien sudah berjalan keluar ruangan tanpa dipasangi apa-apa, bahkan juga tidak perlu diplester dengan tensoplas. Pemerintah akan member si pasien insentif sebesar 1.100 rupee (sekitar Rp250.000), upah seminggu yang biasa diterima seorang buruh.

Pemerintah India pernah menggalakkan vasektomi ketika kecemasan akan ledakan penduduk tengah memuncak pada 1970-an. Perdana Menteri Indira Gandhi dan putranya Sanjay menggunakan dekrit negara-dalam-keadaan-darurat untuk memaksakan peningkatan dramatis dalam pelaksanaan sterilisasi. Dari 1976 hingga 1977 jumlah operasi tersebut berlipat tiga, mencapai lebih dari delapan juta. Lebih dari enam juta di antaranya adalah vasektomi. Petugas program keluarga berencana ditekan untuk memenuhi kuota; di beberapa negara bagian, sterilisasi menjadi persyaratan untuk menerima rumah baru atau tunjangan pemerintah lainnya. Dalam beberapa kasus, polisi cukup mengumpulkan orang miskin dan menggiring mereka ke klinik sterilisasi. Tindakan yang berlebihan itu menyebabkan seluruh konsep keluarga berencana menyandang nama buruk. “beberapa pemerintahan selanjutnya tidak mau menyentuh perkara itu lagi,” ujar Shailaja Chandra, mantan ketua National Population Stabilisation Fund (NPSF). Namun, tetap saja angka kelahiran di India menurun, meski tidak secepat di Cina yang menukik sangat tajam bahkan sebelum kebijakan satu-anak yang kejam itu dilaksanakan. Angka rata-rata nasional di India sekarang adalah 2,6 anak per seorang perempuan, penurunan lebih dari 50 persen jika dibandingkan saat kunjungan Ehrlich dulu. Bagian selatan negara itu dan beberapa negara bagian di sebelah utara sudah berhasil mencapai angka keseimbangan atau lebih kecil lagi.

Di Kerala, pesisir barat daya India, investasi dalam bidang kesehatan dan pendidikan ikut menurunkan angka kelahiran hingga mencapai 1,7. Kuncinya, begitu kata para ahli demografi di sana, adalah angka melek huruf kaum perempuan: angkanya sekitar 90 persen, jelas yang tertinggi di India. Anak gadis yang bersekolah mulai melahirkan anak di usia yang lebih matang dibandingkan dengan anak gadis yang tidak bersekolah. Mereka lebih mudah menerima kontrasepsi dan cenderung lebih memahami pilihan mereka tentang metode keluarga berencana.

Sampai sejauh ini pendekatan tersebut, yang disajikan sebagai model di ajang internasional, belum populer di sejumlah negara bagian di India utara—di kawasan “sabuk Hindi” yang terentang melintasi negeri, tidak jauh di selatan Delhi. Hampir separuh pertumbuhan penduduk India terjadi di Rajasthan, Madhya Pradesh, Bihar, dan Uttar Pradesh, dan di kawasan itu angka kelahiran masih bertengger antara tiga dan empat anak per seorang perempuan. Lebih dari separuh perempuan di kawasan sabuk Hindi buta huruf dan banyak yang sudah menikah saat usianya masih jauh di bawah usia yang sah untuk menikah, yakni 18 tahun. Mereka meraih status sosial dengan memiliki anak—dan tidak berhenti sampai memiliki sekurang-kurangnya seorang anak lelaki.

Sebagai alternatif model Kerala, ada yang menunjuk ke negara bagian Andhra Pradesh di selatan; di sana “tenda” sterilisasi—kamar operasi darurat yang sering dibangun di sekolah-sekolah—diperkenalkan pada 1970-an dan angka sterilisasi masih tetap tinggi ketika rumah sakit yang kemudian diperbaiki menggantikan tenda sterilisasi. Dalam kurun waktu satu dasawarsa yang dimulai pada awal 1990-an, angka kelahiran mulai turun dari sekitar tiga menjadi kurang dari dua. Tidak seperti di Kerala, separuh dari semua perempuan di Andhra Pradesh tetap buta huruf.

Amarjit Singh, direktur pelaksana NPSF saat ini, memperhitungkan bahwa jika keempat negara bagian terbesar di sabuk Hindi menerapkan model Andhra Pradesh, mereka bisa menepis 40 juta kelahiran—dan penderitaan yang berat. “Karena 40 juta bayi dilahirkan, 2,5 juta anak meninggal,” ujar Singh. Menurut pendapatnya, jika seluruh India melaksanakan program bermutu tinggi untuk menggalakkan sterilisasi, di rumah sakit dan bukan di tenda, penduduk negara itu bisa berjumlah 1,4 miliar jiwa pada 2050. bukan 1,6 miliar.

Para pengecam model Andhra Pradesh, misalnya Nanda dari Yayasan Kependudukan, mengatakan bahwa warga India memerlukan perawatan kesehatan yang lebih baik, terutama di daerah pedesaan. Mereka menentang target angka yang menekan pegawai negeri untuk mensterilisasi orang atau insentif uang tunai yang mendistorsi pilihan suami-istri tentang jumlah anak. “Itu adalah keputusan pribadi,” kata Nanda.

Di sejumlah kota di India dewasa ini, banyak pasangan suami istri mengambil pilihan yang sama dengan rekan mereka di Eropa atau Amerika. Sonalde Desai, pejabat senior di New Delhi’s National Council of Applied Economic Research, memperkenalkan saya kepada lima wanita karier di Delhi yang menghabiskan sebagian besar gaji mereka untuk membayar uang sekolah swasta dan guru les; masing-masing punya satu atau dua anak dan tidak berencana punya anak lagi. Dalam survei nasional terhadap 41.554 rumah tangga, tim Desai mengidentifikasi kelompok kecil perintis yang semakin membesar, yang terdiri atas sejumlah keluarga beranak tunggal. “Kami benar-benar tercengang menyaksikan tekanan yang dibebankan para orang tua ini kepada anak mereka,” katanya. “Tiba-tiba saja kita jadi mengerti—itulah sebabnya angka kelahiran menurun.” Anak-anak India rata-rata berpendidikan lebih baik dibandingkan dengan orang tua mereka.

Hal seperti itu tidak dijumpai di pinggiran kota. Bersama tim Desai saya mengunjungi Palanpur, sebuah desa di Uttar Pradesh—sebuah negara bagian di kawasan sabuk Hindi yang jumlah penduduknya sama dengan penduduk Brasil. Ketika berjalan memasuki desa itu, kami melewati menara ponsel, tetapi juga selokan pembuangan limbah yang mengalir di sepanjang jalur rumah-rumah bata yang kecil. Di bawah pohon mangga, tukang bersih semak belukar mengatakan, dia tidak melihat alasan untuk menyekolahkan ketiga anak perempuannya. Di bawah pohon nimba (Azadirachta indica) di tengah desa, saya menanyai belasan orang petani tentang hal terbaik apakah yang bisa memperbaiki kehidupan mereka. “Kalau ada yang mau memberi kami uang, pasti menyenangkan,” kata salah seorang dengan bercanda.

Sasaran di India seharusnya jangan berupa menurunkan angka kelahiran atau populasi, begitu kata Almas Ali dari Yayasan Kependudukan, ketika saya bercakap-cakap dengannya beberapa hari kemudian. “Sasarannya seharusnya membuat pedesaan layak huni,” ujarnya. “Setiap kali kita berbicara tentang populasi di India, bahkan juga sekarang, yang pertama kali terpikirkan adalah angka yang terus meningkat. Dan angka ini dilihat dengan perasaan cemas. Sifat fobia ini sudah menerobos pola pikir sedemikian rupa sehingga terpusat pada cara menurunkan angka ini. Pusat perhatian pada manusianya sudah tersingkirkan.”

Lama perjalanan pulang ke Delhi dari Palanpur adalah empat jam, melalui malam pasar pada suatu hari Minggu. Kami terjebak dalam kemacetan dari kota pasar yang satu ke kota pasar yang lain, masing-masing disibukkan oleh kegiatan yang kadang seakan hendak melahap mobil kami. Tatkala kami tiba di sebuah jembatan menuju Moradabad, saya melihat seorang lelaki mendorong gerobak mendaki bukit terjal, dipenuhi muatan begitu besar sehingga menutupi pandangannya. Saya pun teringat pada pencerahan yang dialami Ehrlich saat berada dalam taksinya beberapa dasawarsa yang lalu. Orang, orang, orang, orang—ya. Namun juga perasaan meluap-luap tentang energi, perjuangan, aspirasi.

Pertemuan tahunan Asosiasi Kependudukan Amerika (Population Association of America – PAA) adalah salah satu pertemuan besar yang dihadiri para ahli demografi dunia. Pada pertemuan April yang lalu, ledakan penduduk dunia tidak tercantum pada agendanya. “Masalah tersebut sudah menjadi agak usang,” ujar Hervé Le Bras. Para ahli demografi pada umumnya yakin bahwa pada paruh kedua abad ini kita akan mengakhiri salah satu era unik dalam sejarah—ledakan penduduk—dan memasuki era lain yang memperlihatkan populasi yang stabil atau bahkan menyusut.

Namun, apakah jumlah manusia akan terlalu banyak? Pada pertemuan PAA di hotel Dallas Hyatt Regency, saya ketahui bahwa jumlah penduduk Bumi dapat pas jika dijejalkan ke dalam negara bagian Texas, jika Texas dihuni sepadat New York. Pembandingan tersebut membuat saya mulai merenung seperti Leeuwenhoek. Jika pada 2045 terdapat sembilan miliar manusia menghuni enam benua yang layak huni, kerapatan penduduk dunia akan sedikit dari setengah kerapatan penduduk Prancis saat ini. Prancis jarang dipandang sebagai tempat yang sangat tidak nyaman. Apakah dunia akan menjadi tempat yang sangat tidak nyaman kelak pada saat itu?

Sebagian kawasan dunia mungkin sekali begitulah keadaannya; sebagian sudah sangat tidak nyaman saat ini. Sekarang terdapat 21 kota yang penduduknya lebih dari sepuluh juta orang, dan pada 2050 akan lebih banyak lagi. Delhi menampung ratusan ribu pendatang setiap tahun dan mereka tiba tanpa menyadari bahwa “belum ada program terencana untuk pengadaan air, saluran pembuangan, atau hunian,” kata Shailaja Chandra. Dhaka di Bangladesh dan Kinshasa di Republik Demokratik Kongo berpenduduk 40 kali lebih banyak jika dibandingkan pada 1950. Perkampungan kumuh di sana dipenuhi orang miskin sengsara yang melarikan diri dari kemiskinan yang lebih parah di pedesaan.

Dewasa ini banyak negara menghadapi tekanan populasi yang tampaknya tak tertangani di mata kita seperti India di mata Ehrlich pada 1966. Bangladesh adalah salah satu negara yang paling padat penduduknya di dunia dan salah satu yang paling terancam oleh perubahan iklim; gelombang pasang air laut dapat menyapu jutaan warga Bangladesh. Rwanda mengalami hal yang sama mencemaskannya. Dalam bukunya Collapse, Jared Diamond mengemukakan bahwa pembantaian sekitar 800.000 warga Rwanda pada 1994 adalah akibat beberapa faktor, bukan hanya kebencian etnik, tetapi juga kelebihan penduduk—terlalu banyak petani membagi luas lahan yang sama menjadi luas yang semakin lama semakin sempit sehingga tidak cukup untuk menopang kehidupan keluarga. “Masa depan terburuk yang diramalkan Malthus di suatu saat nanti mungkin terbukti,” begitu Diamond menyimpulkan.

Banyak orang yang secara masuk akal merasa cemas bahwa pada akhirnya Malthus akan terbukti benar di tingkat global—bahwa Bumi tidak akan sanggup memberi makan sembilan miliar orang. Lester Brown, pendiri Lembaga Worldwatch dan sekarang kepala Lembaga Kebijakan Bumi di Washington, yakin bahwa keterbatasan pangan dapat menyebabkan runtuhnya peradaban dunia. Umat manusia mempertahankan kehidupannya dengan menghabiskan sumber daya alam, begitu dikemukakan Brown, dengan mengikis tanah dan menghabiskan persediaan air tanah lebih cepat daripada pemulihannya kembali. Semua itu akan segera menyusutkan produksi pangan. Rencana cadangan Brown untuk menyelamatkan peradaban akan menempatkan seluruh dunia dalam keadaan siap tempur, seperti A.S. setelah peristiwa Pearl Harbor, untuk menstabilkan iklim dan memperbaiki kerusakan lingkungan. “Memperbaiki kelemahan program keluarga berencana mungkin merupakan perkara paling mendesak dalam agenda dunia,” begitu tulis Brown, sehingga jika kita tidak berhasil mempertahankan penduduk dunia pada angka delapan miliar dengan menurunkan angka kelahiran, angka kematianlah yang mungkin bisa meningkat.

Angka delapan miliar sesuai dengan perkiraan terendah PBB untuk 2050. Dalam skenario yang optimistis itu, Bangladesh memiliki angka kelahiran 1,35 pada 2050, tetapi pada saat itu kelak negara tersebut masih memiliki penduduk 25 juta lebih banyak dibandingkan sekarang. Angka kelahiran di Rwanda juga turun sampai di bawah tingkat keseimbangan, tetapi jumlah penduduknya tetap bertambah hingga mencapai dua kali lipat sebelum masa pembantaian besar-besaran dulu. Jika ini skenario yang optimistis, mungkin begitu pikir kita, masa depan memang sangat suram.

Akan tetapi, kita juga bisa menarik kesimpulan yang berbeda—bahwa terpaku pada angka populasi saja bukanlah cara terbaik untuk menghadapi masa depan. Orang yang tinggal berdesak-desakan di kawasan kumuh memerlukan bantuan dan masalah yang harus dipecahkan adalah kemiskinan serta tidak tersedianya prasarana, bukan kelebihan penduduk. Menyediakan layanan keluarga berencana bagi kaum perempuan memang bagus—“Salah satu strategi yang dapat berdampak paling besar terhadap kehidupan perempuan,” begitu Chandra menyikapinya. Namun, program pengendalian penduduk yang paling gencar pun tidak akan bisa menyelamatkan Bangladesh dari gelombang pasang air laut, Rwanda dari pembantaian lain, atau kita semua dari masalah lingkungan yang amat parah.

Pemanasan global adalah contoh yang bagus. Emisi karbon dari bahan bakar fosil tumbuh paling pesat di China berkat kemajuan ekonominya yang berkelanjutan, tetapi angka kelahiran di negara itu sudah di bawah angka keseimbangan; tidak banyak upaya lagi yang dapat dilakukan untuk mengendalikan populasi. Di Afrika sub-Sahara yang jadi tempat berlangsungnya pertumbuhan populasi tercepat, emisi per orang hanya segelintir persen dari yang terjadi di AS—jadi, pengendalian populasi tidak akan terlalu berdampak pada iklim. Brian O’Neill dari Pusat Penelitian Atmosfer Nasional sudah menghitung bahwa jika populasi mencapai 7,4 miliar pada 2050 alih-alih 8,9 miliar, emisi akan berkurang 15 persen. “Orang yang mengatakan bahwa masalah satu-satunya adalah populasi itu keliru,” ujar Joel Cohen. “Populasi bahkan bukan faktor yang dominan.” Untuk menghentikan pemanasan global, kita semua harus beralih dari bahan bakar fosil ke energi alternatif—menjadi sebesar apa pun populasi kelak.

Tentu saja jumlah orang memang berperan penting. Namun, cara kita melahap sumber daya justru jauh lebih penting. Sebagian di antara kita meninggalkan dampak jauh lebih besar daripada orang lain. Tantangan utama bagi masa depan manusia dan planet ini adalah bagaimana kita bisa mengentaskan lebih banyak orang dari kemiskinan—penghuni kawasan kumuh di Delhi, kebersintasan para petani di Rwanda—sambil mengurangi dampak yang kita hasilkan masing-masing terhadap planet ini.
Bank Dunia meramalkan bahwa pada 2030 lebih dari satu miliar orang di dunia ketiga akan menjadi bagian dari “kelas menengah global,” bertambah dari hanya 400 juta pada 2005. Itu bagus. Namun, akan menjadi beban bagi Bumi jika orang-orang itu menyantap daging dan mengendarai mobil bensin dengan laju kecepatan yang sama dengan yang dilakukan warga AS saat ini. Sudah terlambat menghalangi kelahiran kelas menengah baru 2030; belum terlambat mengubah cara mereka dan kita semua dalam menghasilkan dan melahap pangan dan energi. “Menyantap lebih sedikit daging tampaknya lebih masuk akal bagi saya daripada berkata, ‘Kurangi jumlah anak!’” ujar Le Bras.

Berapa banyakkah orang yang dapat didukung Bumi? Untuk menjawabnya, Cohen menghabiskan waktu bertahun-tahun mengkaji semua penelitian, mulai dari penelitian Leeuwenhoek dan seterusnya. “Saya menulis buku dengan perkiraan dapat menjawab pertanyaan itu,” ujarnya. “Ternyata pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan pengetahuan kita saat ini.” Alih-alih, yang didapatinya adalah “angka politik yang rentangnya lebar, yang dimaksudkan untuk membujuk orang” untuk mencapai kesimpulan yang dikehendaki.

Selama berabad-abad kelompok yang pesimistis tentang populasi melontarkan peringatan tentang akhir dunia yang ditujukan kepada kelompok optimis sejati. Kelompok yang terakhir ini benar-benar yakin bahwa umat manusia akan berhasil mencari jalan untuk menanggulangi dan bahkan memperbaiki nasibnya. Sampai sejauh ini, sejarah pada umumnya berpihak kepada kelompok optimis, tetapi sejarah bukan panduan yang meyakinkan tentang masa depan. Begitu juga dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak dapat meramalkan hasil pertarungan Manusia vs. Bumi, sebab semua faktanya—akan berapa banyak jumlah kita dan bagaimana cara kita hidup—bergantung pada berbagai pilihan yang masih harus kita ambil dan berbagai gagasan yang masih harus kita gagas. Misalnya kita mungkin saja, kata Cohen, “memastikan bahwa semua anak berkecukupan gizi sehingga bisa bersekolah dan berpendidikan cukup untuk memecahkan masalah yang akan mereka hadapi di saat mereka sudah dewasa.” Hal itu dapat mengubah masa depan secara signifikan.

Perdebatan tersebut sudah ada pada sosok Pendeta Thomas Malthus sejak paham kecemasan tentang populasi mencuat. Menjelang akhir bukunya, yang di dalamnya dirumuskan hukum kaku yang menyatakan bahwa populasi yang tidak terkendali dapat menyebabkan wabah kelaparan, Malthus menyatakan hukum itu amat bagus: Hal itu menyebabkan kita bertindak. Hal itu menyebabkan kita menaklukkan dunia. Umat manusia, begitu tulis Malthus, bersifat “lembam, lamban, dan tidak suka bekerja, kecuali jika terpaksa.” Namun kebutuhan, katanya, memberikan harapan:

“Upaya yang menurut kita perlu dilakukan, untuk menopang diri sendiri atau keluarga, sering membangunkan kekuatan yang kalau tidak dibangunkan bisa selamanya tersembunyi, dan sudah diketahui bahwa situasi baru dan yang luar biasa pada umumnya menciptakan pemikiran yang cukup baik untuk menghadapi kesulitan yang melibatkan diri kita.”

Tujuh miliar manusia sebentar lagi, sembilan miliar pada 2045. Mari kita harapkan bahwa Malthus benar bahwa kita memang panjang akal.

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Review